Minggu, 18 Januari 2009

Uang Dalam Pilkada

U A N G DALAM PILKADA
Oleh : Rusli Rachman, anggota DPDRI asal Babel

Beberapa bulan lalu saya telah menulis melalui koran Bangka Pos masalah ini, dengan judul IJON. Dr.Erwiza Erman, peneliti LIPI yang membacanya via Bangkapos online berkomentar via telepon bahwa tulisan tersebut walaupun terselimut berbagai perumpamaan dan tamsil, tetapi tajam dan mengena bila dibaca oleh para politisi dengan cermat, kepala dingin dan tanpa apriori.

Dalam tulisan itu saya bercerita tentang budaya IJON yang sampai sekarang masih berkembang di kalangan masyarakat petani pedesaan, khususnya di Jawa. Petani yang perlu uang di saat musim panen belum tiba terpaksa menjual “buah hijau” (untuk menggambarkan buah yang belum layak panen) kepada pengijon, tentu saja dengan harga jauh dibawah harga biasa kalau dijual dalam keadaan sudah layak panen, apalagi bila menjualnya setelah dipanen sendiri, apalagi bila menjualnya sendiri dalam bentuk eceran, masing-masing alternatif itu dengan pertimbangan-pertimbangan khusus mana yang dianggap paling menguntungkan bagi petani pemilik. Dalam pemilu atau pilkada pengijon adalah partai terhadap konstituen, atau kandidat terhadap partai yang akan dijadikan kendaraan politiknya. Partai terhadap konstituen adalah dengan memberikan uang atau apa saja yang diyakini akan membuat konstituen itu nanti akan menusuk gambarnya saat pemungutan suara, sedangkan kandidat terhadap partai adalah dengan membayar nilai tertentu kepada pentolah-pentolan partai agar menyerahkan partainya sebagai kendaraan politiknya, baik sendiri maupun beberapa partai sebagai koalisi. Apapun hasil pengijonan ini sepenuhnya resiko pengijon, tak ada istilah “uang kembali”.

Tema yang kurang lebih sama ini saya tulis kembali sejalan makin dekatnya masa pilkada tahun 2007 , satu dan lain mengingatkan kawan-kawan kandidat untuk meminimalkan praktek “serba uang” agar tidak terlalu merepotkan memisahkan mana yang haram mana yang halal. Karena sering terjadi kontroversi dan hilaf dalam terminologi maka saya menghindari memakai kata money politics, suap, sogok atau rushwah. Biarlah publik men judge nya sendiri-sendiri.

Menghangatnya isu uang telah terjadi diawal sekali, bahkan jauh sebelum masa-masa kampanye. Karena UU Pemilu mengharamkan kandidat independen dan menghajatkan setiap kandidat harus diusung oleh partai politik, maka dagang sapi telah dapat terjadi dalam penentuan kandidat oleh partai, baik kandidat itu berasal dari partai itu sendiri yang biasa disebut dengan kader internal, apalagi kalau kandidat itu eksternal, yaitu kandidat yang tidak punya partai, atau kandidat alih partai. Kandidat alih partai muncul kalau ybs tidak mendapat tempat di partainya sendiri, atau ybs tak yakin partainya mampu memenangkan dirinya, atau partainya memasang “tarif” yang diluar kemampuan nya, atau karena alasan-alasan lain yang hanya ybs yang tahu. Bagaimana cerita bahwa kandidat internal juga harus merogoh kantong untuk memakai partainya sendiri ? Tentu saja yang ingin menjadi kandidat tidak dia sendiri, atau boleh jadi partainya ingin mencitrakan diri sebagai partai yang lebih demokratis dan lebih terbuka sehingga dibuka peluang bagi semua orang yang berminat memanfaatkan partainya sebagai “kendaraan”. Kalau jumlah kandidatnya lalu berkembang lebih dari satu, maka partai melakukan pooling atau konvensi, dua istilah yang populer belakangan ini. Yang ingin menang dalam pooling atau konvensi itu siap-siaplah dengan uang, karena makin banyak uang, makin mulus jalannya mencapai kemenangan untuk memakai partai tersebut sebagai kendaraan politiknya. Untuk apa saja uang banyak itu ? Yah, tahulah sendiri !

Pendek kata selama masa penentuan calon oleh partai, “uang” menjadi isu utama, mo lui mo partai lo, kate urang Cin. Ini memang masa panen bagi orang-orang partai. Saya percaya tidak semua orang-orang partai bermental uang seperti itu, mereka itu para idealis yang memandang partainya sebagai amanat yang harus dipakai untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat, atau mereka itu orang-orang yang takut kepada pilihan uang haram, bahkan subhat sekalipun.
Memasuki babak pasca-deklarasi partai, maka sang kandidat harus menyediakan “uang” jauh lebih banyak lagi. Sepertinya nyaris mustahil partai akan menyediakan biaya untuk sosialisasi dan kampanye. Mana ada partai kita yang kaya , paling juga tokoh-tokohnya yang kaya. Biaya teknis kampanye yang harus dikeluarkan oleh sang kandidat antara lain: barang-barang cetakan, baliho, spandul, iklan koran, honor jurkan, broker, simpul-simpul masyarakat di kampung, saksi-saksi di TPS, barang sambung rasa seperti baju kaos, topi dan semacamnya, ongkos pengerahan masa seperti transportasi, makan, uang saku dll, transportasi dan komunkasi para jurkam, dan yang cukup besar adalah membangun panggung dan mendatangkan band serta penyanyi “import”. Kayaknya masih banyak lagi pernik-pernik lainnya yang akan menghabiskan kolom ini untuk menuliskannya satu persatu secara rinci.

Bagaimana dengan babak pra-deklarasi ? Tak kalah meriahnya, Bagi yang telah yakin akan tampil nanti, kesempatan beberapa bulan dipakai untuk jalan-jalan di desa-desa mensosialisasi dirinya baik terang-terang maupun terselubung, oang bilang “kampanye terselubung”. Tim sukses biasanya telah dibentuk dan tim inipun telah mulai bergerak membangun jaringan di desa-desa. Bagi incumbent tentu ini kesempatan emas. Maka kunjungannya ke desa-desa semakin gencar, senyum dan sapa pada siapa saja, sumbangan dalam bentuk uang dan barang dihambur dimana-mana sebagai bukti kemurahan hati seorang pemimpin(walaupun bukan milik pribadinya), termasuk janji-janji untuk memberi lebih banyak kelak kalau terpilih lagi.

Akan halnya rakyat di desa-desa, dalam beberapa tahun pengalaman berada dalam iklim pemilu dan pilkada, rasanya asyik sekali kalau kedatangan kandidat, karena pastilah akan ada buah tangan seperti selembar kaos atau topi atau selendang dan Surat Yasin bagi ibu-ibu pengajian, atau kacamata baca, atau bola dan net volley, atau bola kaki, dan lain sebagainya. Beberapa orang desa yang jeli lalu mendagangkan dirinya untuk menjadi semacam broker atau liaison officer antara sang kandidat dengan masyarakat di desanya. Ada pula yang bertindak sebagai double-agent, dan tak sedikit yang sekadar memasang tajur pancing, atau masang bubu atau pentor rajung. Semua kandidat didekati dan dijanjikan jasa memenangkan pilkada, padahal dia tidak berbuat apa-apa, sekadar menunggu dering HP atau memencet HP pura-pura memberi informasi atau hanya sekadar minta tambah ongkos. Kalau tak ketahuan, maka siapapun yang menang pastilah dia akan dapat “bagian” rejeki balas jasa.

Segmen lain yang ikut nimbrung adalah apa yang menyebut dirinya atau disebut atau ditafsirkan sebagai konsultan, agak inteleklah orangnya, ada produk lokal, ada yang “orang Jakarta” atau kota-kota besar lain di Jawa. Kerjanya membuat berbagai analisis, prediksi serta nasihat bagi sang kandidat. Sesuai dengan kualitasnya biasanya ongkos untuk segmen ini relatif lebih besar.
Kurang lebih begitulah liku-liku “uang” dalam percaturan pilkada, bukan hanya di Babel saja, dimanapun kira-kira polanya demikian. Besar bukan ongkosnya, khusus lagi bagi yang merasa belum kuat jaringannya, belum berapa dikenal, belum populerlah gitu ! Dari mana saja uang untuk semua keperluan itu ? Dari kantong sendiri ? Nggaklah ya, mana ada yang mau berspikulasi dengan uang sendiri untuk kemenangan yang belum pasti. Yang mau berspikulasi tentulah orang-orang yang memang sudah biasa berspikulasi, mereka inlah yang akan menalangi ongkos-ongkos yang besar itu. Tenu saja dengan perhitungan serta janji dan komitmen pasca pilkada bila berhasil menang. Kalau kalah gimana? Yah begitulah resiko dagang ! Kalaupun ada yang dengan uang pribadi maju berjuang, tentulah kandidat ini cukup kaya dan punya naluri untuk bertaruh, tentu saja dengan resiko kalah dan kecewa. Sebaliknya kalau menang bisalah diperkirakan bagaimana perilakunya nanti. Entahlah kalau ada yang benar-benar kaya serta memiliki idealisme, jujur dan dedicated. Kandidat ini nanti bila menang akan lebih menjanjikan untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Kalaupun dia kalah dia tidaklah akan kecewa atas harga yang harus dibayarnya dalam sebuah perjuangan untuk berbakti dan beramal. Adakah dia ?
Jakarta Agustus 2006

2 komentar:

  1. nice blog...:)
    sudahkah anda bergabung dikomunitas "Negeri Serumpun Sebalai"? yg belum, segera daftar di Facebook. Situs jaringan sosial (social networking)yg lagi ngetren. bisa cari temen & mempromosikan blog anda.

    keanggotaannya dinantikan...:)

    BalasHapus
  2. main ke www.trawang.com pak rusli,portal berita bangka belitung

    BalasHapus