Minggu, 18 Januari 2009

Uang Dalam Pilkada

U A N G DALAM PILKADA
Oleh : Rusli Rachman, anggota DPDRI asal Babel

Beberapa bulan lalu saya telah menulis melalui koran Bangka Pos masalah ini, dengan judul IJON. Dr.Erwiza Erman, peneliti LIPI yang membacanya via Bangkapos online berkomentar via telepon bahwa tulisan tersebut walaupun terselimut berbagai perumpamaan dan tamsil, tetapi tajam dan mengena bila dibaca oleh para politisi dengan cermat, kepala dingin dan tanpa apriori.

Dalam tulisan itu saya bercerita tentang budaya IJON yang sampai sekarang masih berkembang di kalangan masyarakat petani pedesaan, khususnya di Jawa. Petani yang perlu uang di saat musim panen belum tiba terpaksa menjual “buah hijau” (untuk menggambarkan buah yang belum layak panen) kepada pengijon, tentu saja dengan harga jauh dibawah harga biasa kalau dijual dalam keadaan sudah layak panen, apalagi bila menjualnya setelah dipanen sendiri, apalagi bila menjualnya sendiri dalam bentuk eceran, masing-masing alternatif itu dengan pertimbangan-pertimbangan khusus mana yang dianggap paling menguntungkan bagi petani pemilik. Dalam pemilu atau pilkada pengijon adalah partai terhadap konstituen, atau kandidat terhadap partai yang akan dijadikan kendaraan politiknya. Partai terhadap konstituen adalah dengan memberikan uang atau apa saja yang diyakini akan membuat konstituen itu nanti akan menusuk gambarnya saat pemungutan suara, sedangkan kandidat terhadap partai adalah dengan membayar nilai tertentu kepada pentolah-pentolan partai agar menyerahkan partainya sebagai kendaraan politiknya, baik sendiri maupun beberapa partai sebagai koalisi. Apapun hasil pengijonan ini sepenuhnya resiko pengijon, tak ada istilah “uang kembali”.

Tema yang kurang lebih sama ini saya tulis kembali sejalan makin dekatnya masa pilkada tahun 2007 , satu dan lain mengingatkan kawan-kawan kandidat untuk meminimalkan praktek “serba uang” agar tidak terlalu merepotkan memisahkan mana yang haram mana yang halal. Karena sering terjadi kontroversi dan hilaf dalam terminologi maka saya menghindari memakai kata money politics, suap, sogok atau rushwah. Biarlah publik men judge nya sendiri-sendiri.

Menghangatnya isu uang telah terjadi diawal sekali, bahkan jauh sebelum masa-masa kampanye. Karena UU Pemilu mengharamkan kandidat independen dan menghajatkan setiap kandidat harus diusung oleh partai politik, maka dagang sapi telah dapat terjadi dalam penentuan kandidat oleh partai, baik kandidat itu berasal dari partai itu sendiri yang biasa disebut dengan kader internal, apalagi kalau kandidat itu eksternal, yaitu kandidat yang tidak punya partai, atau kandidat alih partai. Kandidat alih partai muncul kalau ybs tidak mendapat tempat di partainya sendiri, atau ybs tak yakin partainya mampu memenangkan dirinya, atau partainya memasang “tarif” yang diluar kemampuan nya, atau karena alasan-alasan lain yang hanya ybs yang tahu. Bagaimana cerita bahwa kandidat internal juga harus merogoh kantong untuk memakai partainya sendiri ? Tentu saja yang ingin menjadi kandidat tidak dia sendiri, atau boleh jadi partainya ingin mencitrakan diri sebagai partai yang lebih demokratis dan lebih terbuka sehingga dibuka peluang bagi semua orang yang berminat memanfaatkan partainya sebagai “kendaraan”. Kalau jumlah kandidatnya lalu berkembang lebih dari satu, maka partai melakukan pooling atau konvensi, dua istilah yang populer belakangan ini. Yang ingin menang dalam pooling atau konvensi itu siap-siaplah dengan uang, karena makin banyak uang, makin mulus jalannya mencapai kemenangan untuk memakai partai tersebut sebagai kendaraan politiknya. Untuk apa saja uang banyak itu ? Yah, tahulah sendiri !

Pendek kata selama masa penentuan calon oleh partai, “uang” menjadi isu utama, mo lui mo partai lo, kate urang Cin. Ini memang masa panen bagi orang-orang partai. Saya percaya tidak semua orang-orang partai bermental uang seperti itu, mereka itu para idealis yang memandang partainya sebagai amanat yang harus dipakai untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat, atau mereka itu orang-orang yang takut kepada pilihan uang haram, bahkan subhat sekalipun.
Memasuki babak pasca-deklarasi partai, maka sang kandidat harus menyediakan “uang” jauh lebih banyak lagi. Sepertinya nyaris mustahil partai akan menyediakan biaya untuk sosialisasi dan kampanye. Mana ada partai kita yang kaya , paling juga tokoh-tokohnya yang kaya. Biaya teknis kampanye yang harus dikeluarkan oleh sang kandidat antara lain: barang-barang cetakan, baliho, spandul, iklan koran, honor jurkan, broker, simpul-simpul masyarakat di kampung, saksi-saksi di TPS, barang sambung rasa seperti baju kaos, topi dan semacamnya, ongkos pengerahan masa seperti transportasi, makan, uang saku dll, transportasi dan komunkasi para jurkam, dan yang cukup besar adalah membangun panggung dan mendatangkan band serta penyanyi “import”. Kayaknya masih banyak lagi pernik-pernik lainnya yang akan menghabiskan kolom ini untuk menuliskannya satu persatu secara rinci.

Bagaimana dengan babak pra-deklarasi ? Tak kalah meriahnya, Bagi yang telah yakin akan tampil nanti, kesempatan beberapa bulan dipakai untuk jalan-jalan di desa-desa mensosialisasi dirinya baik terang-terang maupun terselubung, oang bilang “kampanye terselubung”. Tim sukses biasanya telah dibentuk dan tim inipun telah mulai bergerak membangun jaringan di desa-desa. Bagi incumbent tentu ini kesempatan emas. Maka kunjungannya ke desa-desa semakin gencar, senyum dan sapa pada siapa saja, sumbangan dalam bentuk uang dan barang dihambur dimana-mana sebagai bukti kemurahan hati seorang pemimpin(walaupun bukan milik pribadinya), termasuk janji-janji untuk memberi lebih banyak kelak kalau terpilih lagi.

Akan halnya rakyat di desa-desa, dalam beberapa tahun pengalaman berada dalam iklim pemilu dan pilkada, rasanya asyik sekali kalau kedatangan kandidat, karena pastilah akan ada buah tangan seperti selembar kaos atau topi atau selendang dan Surat Yasin bagi ibu-ibu pengajian, atau kacamata baca, atau bola dan net volley, atau bola kaki, dan lain sebagainya. Beberapa orang desa yang jeli lalu mendagangkan dirinya untuk menjadi semacam broker atau liaison officer antara sang kandidat dengan masyarakat di desanya. Ada pula yang bertindak sebagai double-agent, dan tak sedikit yang sekadar memasang tajur pancing, atau masang bubu atau pentor rajung. Semua kandidat didekati dan dijanjikan jasa memenangkan pilkada, padahal dia tidak berbuat apa-apa, sekadar menunggu dering HP atau memencet HP pura-pura memberi informasi atau hanya sekadar minta tambah ongkos. Kalau tak ketahuan, maka siapapun yang menang pastilah dia akan dapat “bagian” rejeki balas jasa.

Segmen lain yang ikut nimbrung adalah apa yang menyebut dirinya atau disebut atau ditafsirkan sebagai konsultan, agak inteleklah orangnya, ada produk lokal, ada yang “orang Jakarta” atau kota-kota besar lain di Jawa. Kerjanya membuat berbagai analisis, prediksi serta nasihat bagi sang kandidat. Sesuai dengan kualitasnya biasanya ongkos untuk segmen ini relatif lebih besar.
Kurang lebih begitulah liku-liku “uang” dalam percaturan pilkada, bukan hanya di Babel saja, dimanapun kira-kira polanya demikian. Besar bukan ongkosnya, khusus lagi bagi yang merasa belum kuat jaringannya, belum berapa dikenal, belum populerlah gitu ! Dari mana saja uang untuk semua keperluan itu ? Dari kantong sendiri ? Nggaklah ya, mana ada yang mau berspikulasi dengan uang sendiri untuk kemenangan yang belum pasti. Yang mau berspikulasi tentulah orang-orang yang memang sudah biasa berspikulasi, mereka inlah yang akan menalangi ongkos-ongkos yang besar itu. Tenu saja dengan perhitungan serta janji dan komitmen pasca pilkada bila berhasil menang. Kalau kalah gimana? Yah begitulah resiko dagang ! Kalaupun ada yang dengan uang pribadi maju berjuang, tentulah kandidat ini cukup kaya dan punya naluri untuk bertaruh, tentu saja dengan resiko kalah dan kecewa. Sebaliknya kalau menang bisalah diperkirakan bagaimana perilakunya nanti. Entahlah kalau ada yang benar-benar kaya serta memiliki idealisme, jujur dan dedicated. Kandidat ini nanti bila menang akan lebih menjanjikan untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Kalaupun dia kalah dia tidaklah akan kecewa atas harga yang harus dibayarnya dalam sebuah perjuangan untuk berbakti dan beramal. Adakah dia ?
Jakarta Agustus 2006

Produksi Hilir

PRODUKSI HILIR
Rusli Rachman, anggota DPDRI asal Bangka
Itulah yang dikatakan oleh Habibi lebih satu dekade yang lalu ketika beliau masih menjadi Menristek/ketua BPPT . Beliau memperlihatkankan secara ekstrim harga sebuah sedan marcedes yang beratnya satu setengah ton. Harganya marcedes tersebut tenyata lebih dari dua puluh kali lipat dari harga besi dengan barat yang sama. Kita dapat menganalogikan contoh Habibi tersebut dengan semua barang jadi dan siap pakai atau setidaknya setengah jadi atau setengah siap pakai, bahkan dengan contoh yang paling sederhana sekalipun, seperti harga satu irisan daging dengan harga sepiring steak siap saji yang berasal dari daging tersebut. Dalam skala yang lebih besar lihatlah berapa harga jual buah kelapa sawit dibandingkan dengan CPO sebagai barang setengah jadi, dan harga CPO dengan harga bimoli sebagai produk akhir. Lihatlah kaolin yang dijual dalam skala besar dari Bangka dan Belitung ke Surabaya atau Jakarta atau di ekspor ke luar negeri, setelah menjadi batu tahan api atau keramik berapa puluh kali lipat harga jualnya yang harus kita beli kembali dari bahan baku yang baru kita jual itu ? Berapa harga singkong yang dihasilkan ribuan ton oleh para petani di Lampung itu, berapa harga tapiokanya yang kita beli untuk membuat mpek-mpek, dan akhirnya berapa harga sepotong mpek-mpek kapal selam ? Kedengarannya sederhana, tetapi prosesnya dari bahan baku menjadi barang jadi atau setengah jadi tidaklah sesederhana itu. Dengan menggunakan pendekatan system kita tahu bahwa untuk sampai menjadi barang jadi sebagai output, maka bahan baku hanyalah salah satu saja dari sekian banyak input yang diperlukan dalam system yang berproses hingga menghasilkan output yang kita sebut barang jadi itu.

Ada tiga input utama disamping input lainnya, ialah teknologi, modal, dan SDM yang mampu menggunakan teknologi dan mengelola modal tersebut. Makin sederhana barang yang akan dihasilkan, makin sederhana pula teknologinya, makin sedikit modal dan makin sederhana kompetensi SDM nya. Bukankah untuk membuat lempah kuning yang disajikan di restoran belakang BBCP itu, atau warung jalan Garuda, atau restoran Biru laut, atau warung Ita samping masjid Jamik itu tak perlu teknologi canggih, tak perlu modal besar atau tenaga lulusan spesial ? Tapi harganya aduhai ! Bandingkan dengan harga ikannya yang dibeli di pasar sebagai bahan baku, dan bandingkan lagi dengan harga ikan yang dibeli oleh tengkulak dari nelayan. Begitulah gambaran sederhana produksi hilir, yang oleh Habibi diperkenalkan pula kepada kita istilah added value atau nilai tambah dari produksi hilir itu.

Berbicara tentang teknologi, modal dan SDM, bagi PT.Timah Tbk tentu tak merisaukan. Tambang memang core bussinessnya, khususnya timah. Berinvest dalam pertambangan batubara di Kalimantan dan aspal di Sulawesi dianggap masih dalam batas-batas ketersediaan teknologi dan kompetensi SDMnya. Karena itu rencana invest dalam perkebunan kelapa sawit di Bangka Tengah yang dibatalkan karena ketidaksetujuan komisaris sepertinya wajar-wajar saja. Saya dengar rencana invest perkebunan kelapa sawit tersebut memang sengaja tidak dikaitkan dengan core bussiness karena ada value lain yang diharapkan, yaitu keuntungan politis. Konon opini tentang kurangnya kontribusi PT.Timah Tbk di Babel dirasa masih cukup kuat.

Ada jurus lain sebenarnya yang bisa dilakukan oleh PT.Timah Tbk untuk menunjukkan dedikasinya bagi Babel dan bangsa, mendapat nilai tambah dan yang paling penting dibalik itu adalah penghematan timah sebagai sumber daya alam yang strategis, yang sekarang ini cadangannya cenderung menyusut semakin cepat, justru ketika Indonesia masih belum menjadi negara Industri. Cina sebagai negara dengan produksi timah terbesar di dunia adalah pengekspor timah terrendah karena nyaris semua timahnya dikonsumsi industri dalam negeri. Indonesia sebaliknya, menjual nyaris semua timahnya karena industri kita belum banyak mengonsumsi timah. Tetapi menjadi negara industri bagi Indonesia merupakan keniscayaan masa depan. Sayang, kalau trend pemborosan timah tetap seperti sekarang, kita nanti akan menjadi negara industri sekaligus pengimport timah yang harganya akan sangat mahal karena faktor kelangkaan. Tragis !

Melalui tulisan ini diserukan agar PT.Timah Tbk berhentilah berinvestasi diluar Babel, toh sejauh ini semua investasi tersebut belum menguntungkan kalau tak dapat dikatakan merugi. Kembalilah ke provinsi baru ini dan tanamkan modal, teknologi dan SDMnya pada industri hilir timah atau non timah di sini. Berapa banyak lapangan kerja bisa dibuka di Babel dan berapa besar pasar dalam dan luar negeri bisa menyerap hasil industri hilir timah ini. Menjual semua logam timah produk pusmet sungguh absurd, sama absurdnya dengan apa yang selama ini dilakukan oleh smelter-smelter swasta yang menjamur itu.

Dulu apa yang kini kita kenal dengan nama Pusat Metalurgi (Pusmet) itu bernama Peleburan Timah (Peltim). Sayang fungsinya tak banyak berubah, tetap masih sekadar melebur timah, paling-paling kini ada sedikit produk samping berupa butiran timah (Tin Shut) sebagai produk hilir setengah jadi. Padahal SDM disana sungguh potensial dimanfaatkan untuk pengembangan berbagai produk hilir timah lainnya sesuai dengan namanya sebagai pusat metalurgi.

Kita baru berbicara tentang produksi hilir timah, masih banyak lagi bentuk ketidaksabaran kita untuk segera mendapat uang dengan menjual bahan baku secara murah meriah. Lihalah sudah barapa puluh tahun kita menjual kaolin, dan pasir kwarsa, dua jenis bahan tambang yang sangat kaya tersedia dibumi Babel ini. Antara tahun 60an sampai 70an masih ada industri keramik di Belitung dengan brand KIA yang memanfaatkan kaolin Belitung. Kini hengkang ke Jakarta karena alasan-alasan yang sangat boleh jadi tarkait dengan masalah-masalah dukungan politik dan kemudahan ekspor, atau masalah-masalah non teknis yang memuakkan investor. Kini perkebunan kelapa sawit telah berkembang meluas diseantero pulau Bangka dan Belitung. Produksi CPOnyapun telah diekpor kemana-mana. Adakah terbayangkan perlunya kita memiliki industri hilir CPO ?

Disamping kelapa sawit, Babel sangat dikenal kekayaan hasil lautnya. Ada pabrik pengalengan ikan di Merawang yang semula memberi harapan, tetapi kini tersungkur, entah mengapa, siapa peduli ? Nanas di Bangka Selatan sejak sebelum kemerdekaan telah terkenal, kuantitas maupun kualitasnya. Supply/perkebunannya tak bertambah karena demandnya itu-itu saja. Pernah ada wacana tentang pabrik pengalengan nanas, katanya nanas Toboali terlalu banyak airnya tak seperti nanas Prabumulih. So what ? Wacana tak memasuki teknologi dan akhirnya sepi sendiri.
Dua tahun lalu saya ke Pongok dan menyaksikan hamparan ikan asin seantero daratan pulau Clagen, tetangga dekat Pongok. Ikan-ikan asin Clagen ini konon yang menjadi pasokan ikan asin di Jakarta. Ikan asin dikembangkan di Clagen karena over produksi ikan basah. Ini rekayasa mereka sendiri yang patut kita acungkan jempol. Kalaulah modal dan teknologi ditransfer ke Pongok/Clagen, maka industri disana bukan hanya ikan asin, tetapi ada yang nilai tambahnya lebih tinggi, ialah pakan ternak, ikan kaleng, tepung ikan dan lain-lain. Ikan disana sungguh melimpah hingga kewalahan menangkapnya. Selat sempit antara Pongok dan Clagen dipenuhi berbagai jenis ikan yang tembus terawang mata telanjang dari atas perahu atau dermaga nelayan dikedua pulau itu. Melihat begitu banyaknya ikan yang tak ditangkap lagi bagi kita yang datang dari jauh gemes rasanya, kate orang Bangka grigit !

Begitulah potensi sumber daya alam Babel ini di luar timah yang sedang dirayah dan meluluhlantakkan lingkungannya itu, Saya ingin berhenti sebenarnya bicara soal timah dan lingkungan, muak rasanya setelah puluhan tulisan saya yang hilang tertelan ketidakpedulian penguasa dan pengusaha. Sayangnya saya tak pernah bisa berhenti berfikir tentang Provinsi saya ini, tentang nasib masyarakatnya yang tak pintar-pintar menyikapi hari depan anak cucunya. setidaknya hingga saat ini.

Pilkada 22 Pebruari ini mudah-mudahan membuka babak baru bagi kepedulian kita yang lebih serius pada hari depan Provinsi ini. Kita berharap siapapun yang nanti akan memimpin Babel, berwawasanlah jauh kedepan. Berhentilah berfikir tentang kekayaan diri, berhentilah terobsesi dengan kepuasan dan kebanggaan kekuasaan yang hanya sesaat itu, kekuasaan yang kapan saja dapat diambil kembali oleh Allah sebagai pemilik segala kekuasaan. Sungguh kepadaNyalah kita akan kembali !
Wallahu a’lam Jakarta 17 Pebruari 2007

Gubernur Baru

GUBERNUR BARU KITA
Oleh: Rusli Rachman, anggota DPD RI asal Babel
Setelah bertarung sengit secara terbuka selama dua minggu dalam apa yang disebut masa kampanye, serta pertarungan tertutup beberapa masa sebelum masa kampanye, dan ditambah lagi seminggu setelah masa kampanye yang disebut dengan masa tenang, bahkan hingga saat-saat menjelang pagi dihari pencoblosan, sore hari tanggal 22 Pebruari itu Quick Count LSI telah mengumumkan hasil sementara bagi kemenangan Kandidat nomor 4, yaitu Eko Maulana Ali dan pasangannya Syamsudin Basari dengan capaian 35 koma sekian persen, sedangkan pesaing ketatnya Basuki TP (Ahok) berpasangan dengan Eko Cahyono mendapat 33 koma sekian persen. Kita bersyukur kepada Allah bahwa pilkada yang gegap gempita itu berlangsung mulus, jauh dari tindakan kekerasan fisik, suatu contoh bagus bagi generasi mendatang memasuki pilkada kedua, ketiga dan seterusnya di Bumi Serumpun Sebalai ini.

Sepanjang siang hari tanggal 22 itu dari pukul 08.00 saat dibukanya TPS masing-masing hingga siang saat pencoblosan berakhir, dilanjutkan makan siang Panitia, kemudian memasuki saat-saat mendebarkan, yaitu penghitungan perolehan suara di TPS, “Tim Pemenang” masing Kandidat terus melakukan pemantauan, terus bergerak dan sebentar-sebentar mengangkat telepon genggamnya. Yang paling berdebar tentu saja sang kandidat sendiri dengan kadarnya masing-masing. Ada yang karena sudah tahu pasti akan kalah malah bersikap masabodo, bahkan hanya satu-dua TPS yang ada saksi dari yang bersangkutan. Dari awal semua pengamat telah melihat bahwa hanya akan ada dua saja Kandidat yang akan bersaing ketat, yaitu nomor empat dan lima. Tetapi manuver Kandidat nomor 3 membuat kalkulasi dan peta kekuatan kemudian segera bergeser beberapa hari menjelang masa kampanye, dan dipastikan pergeseran itu setelah memasuki masa kampanye, masa tenang, hingga menjelang pencoblosan kartu suara dan pengitungan suara di TPS.

Tanggal 22 pagi sekitar pukul 09.00 ketika saya sedang senam ringan di depan rumah mobil Kandidat nomor lima lewat, berhenti karena melihat saya, kami bersalaman dan ngobrol sekenanya. Yang saya masih ingat kata-kata pasrahnya:” Dak pacak ngapelah, kite liat baelah”. Saya menangkap nuansa pesimisme dari wajah dan bicaranya, dan benar ketika bakdal zuhur saya iseng keliling Pangkalpinang, terutama kawasan pinggiran, yang saya dapati dan perkirakan, telah menjadi kenyataan. Dimana-mana suara untuk Kandidat nomor tiga menguasai papan telling, bahkan di TPS-TPS dalam kota pada sentra-sentra tak terperkirakan kemenangan Kandidat nomor tiga tak tertahankan.

Gambaran luar Pangkalpinang di pulau Bangka juga terjadi pertarungan sengit pengumpulan suara, tetapi kandidat incumbent makin tercecer. Bangka Selatan dan Tengah yang semula dipastikan akan menjadi penentu kemenangan bagi Kandidat nomor lima, ternyata menjadi santapan empuk Kandidat nomor empat. Unbelivable, meminjam kata-kata salah seorang operator lapangannya. Kekalahan sudah dipelupuk mata, apalagi ketika hasil penghitungan suara pulau Belitung diumumkan dengan kemenangan mutlak Kandidat nomor tiga. Kembali kata unbelivable bisa kita pakai untuk menggambarkan spektakulernya manuver tim kampanye Kandidat nomor tiga. Siapapun tahu kalau pulau Belitung seharusnya dikuasai oleh Kandidat nomor empat karena ini adalah pulaunya Yusril Ihza Mahendra, pulaunya PBB, partai yang mengusung Kandidat nomor empat. Tapi seperti pernah saya ungkapkan dalam tulisan saya sebelumnya, bahwa partai tak lagi signifikan memenangkan calonnya dalam suatu pemilihan langsung. Inilah yang ditakutkan oleh DPR yang sepenuhnya bermuatan partai-partai, untuk mengubah UU Pemilu yang dapat membenarkan adanya Kandidat independen.

Penghitungan suara hingga sore tinggal kejar-kejaran antara Kandidat nomor tiga dan nomor empat, sedangkan Kandidat nomor lima telah tak diperhitungkan lagi. Stress menghantui kedua kandidat, karena ini adalah pertaruhan harga diri dengan segala ikutannya, disamping tentu saja uang yang sudah sangat banyak keluar. Tetapi seperti diatas dikemukakan, akhirnya persaingan ketat itu dimenangkan oleh Kandidat nomor empat dengan selisih tak berapa signifikan, kurang lebih 3 %. Kalaulah sekiranya kandidat nomor lima terlibat dalam persaingan ketat ini pastilah kandidat nomor tiga yang akan memenangkan pilkada ini, bukan mustahil dengan selisih kemenangan yang signifikan. Sayangnya kandidat kelima ini hanya mampu bertahan di 22% lalu berhenti. Cobalah sekarang jumlahkan capaian kandidat keempat + kelima, hanya k/l 57%. Rata-ratanya hanya 28,5 %, jauh bukan dibandingkan dengan 33% capaian kandidat nomor tiga? Saya kira tak salahnya Ahok sebagai Kandidat nomor tiga, tahun 2012 nanti maju lagi mencoba peruntungan, umurnya waktu itu masih 40an tahun, young enough ! Kalau yang sudah nyaris dapat dipastikan menangnya adalah menjadi Walikota tahun 2008 nanti, tentu saja bila pesaingnya lebih dari seorang Zulkarnain Karim. Atau menjadi Bupati Belitung bila pesaingnya lebih dari seorang Dharmansyah Husin.

Tanggal 22 April nanti insyaAllah Eko Maulana Ali akan dilantik menjadi Gubernur baru Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Gubernur kedua sesudah Hudarni Rani. Kita ucapkan selamat kepada Eko Maulana Ali atas kemenangan ini dan selamat untuk lima tahun kedepan memimpin Provinsi ini. Kalau Eko Maulana Ali berjiwa besar dia tidak akan melakukan “sapu bersih” para Birokrat yang terindikasi dekat dengan Gubernur lama yang ada di kantor Gubernur. Soalnya mental Birokrat memang begitu dimana-mana, selalu ingin bersikap “dekat” dengan atasannya. Pemimpin yang berjiwa besar adalah pemimpin yang mampu meminimal “lawan”, bahkan sejauh mungkin membuat lawan menjadi kawan. Pelajari kesalahan-kesalahan para pendahulu anda dan jangan ulangi kebodohan yang tidak perlu itu, sekadar memuaskan emosi kemarahan, kebencian dan balas dendam. Lawan-lawan yang nyata dalam pilkada kemarinpun tak perlu dimusuhi terus, rangkul mereka untuk bersama membangun Provinsi baru ini. Mana-mana Visi dan Misi serta Program dari Kandidat yang kalah yang patut dan bagus di adopsi, adopsilah tanpa perlu merasa malu.

Kepada sdr.Hudarni Rani, yang tanggal 22 April nanti akan menyerahkan jabatan Gubernur kepada sdr.Eko Maulana Ali, saya serukan untuk juga berjiwa besar. Hilangkan kemarahan karena merasa dicurangi atau apapun yang menyebabkan kekalahan anda. Anggaplah itu suatu kehendak Tuhan untuk diambil hikmahnya, karena tidak selamanya yang kita benci itu buruk bagi kita, boleh jadi ada baiknya, demikian pula tak selamanya apa yang kita sukai itu baik bagi kita, boleh jadi banyak keburukan di dalamnya. Iklan anda di media cetak lalu sungguh mengharukan ketika anda menyerukan kepada semua anak negeri untuk menerima dan mendukung Gubernur yang baru. Dalam upacara pelantikan Gubernur baru nanti InsyaAllah tanggal 22 April, berdirilah dibelakang Menteri Dalam Negeri sebagai orang kedua yang memberikan ucapan selamat kepada pengganti anda. Bagaimanapun anda adalah Gubernur Pertama Negeri ini, anda telah meletakkan dasar-dasar sistem dan gagasan yang cukup kuat, infrastruktur yang memadai serta pembangunan ekonomi yang menempatkan posisi Provinsi ini dalam “jajaran tengah” Provinsi-Provinsi di Indonesia dalam bidang human development index.
Kepada semua warga masyarakat Provinsi Kepulauan ini, khususnya teman-teman dari Partai politik yang ikut mendukung Eko Maulana Ali, saya serukan untuk tidak menggerogoti dan meminta pembagian rejeki karena semua kita tentu berharap Gubernur baru nanti berkonsentrasi untuk membangun masyarakat seluruhnya, bukan hanya masyarakat yang kemarin memilihnya saja. Demikian pula bagi masyarakat dan partai-partai yang kemarin menjadi oposan dalam pilkada, berilah kesempatan kepada Gubernur baru untuk membuktikan kepiawaiannya memimpin negeri ini, mengaplikasi janji-janji kampanyenya dalam program yang nyata untuk kepentingan bersama.

Semoga Tuhan mengampuni kita dan memberikan keberkahan bagi Provinsi ini. Amin
Jakarta 26 Pebruari 2007
FENOMENA A H O K
Oleh : rusli Rachman, anggota DPD RI asal Bangka

Ketika akan berlangsung Pemilu tahun 2002 yang lalu, yang salah satunya akan memilih anggota-anggota DPD RI, pada saat terakhir KPUD mengoleksi 22 kandidat. 20 berasal dari pulau Bangka dan hanya satu yang berasal dari pulau Belitung. Dari 20 kandidat asal Bangka hanya satu darinya yang perempuan. Siapapun pada waktu itu telah dapat memastikan bahwa kedua orang tersebut pastilah akan dapat mencuri masing-masing satu kursi dari hanya empat kursi yang diperebutkan, dan akhirnya memang menjadi kenyataan. Fajar Fairi menguasai suara pulau Belitung dan Djamila Somad menguasai suara kaum perempuan. Tentu saja tak mutlak benar karena 21 kandidat diluar Fajar Fairi juga kebagian suara pemilih Belitung, demikian pula 21 kandidat diluar Djamila Somad mendapat bagian suara perempuan dari Bangka maupun Belitung. Kalaulah semua suara perempuan diberikan kepada Djamila Somad pastilah dia akan menampati urutan nomor satu karena pemilih perempuan justru lebih banyak dari pemilih laki-laki.Demikian pula kalau semua suara pemilih Belitung diberikan kepada Fajar Fairi pastilah dia akan menempati urutan kedua, karena pemilih Bangka akan berbagi kepada 21 kandidat lainnya.

“Kalau” lainnya adalah sekiranya kandidat dari pulau Belitung lebih dari seorang dan kandidat perempuan juga lebih dari seorang, maka dapatlah dipastikan tak akan ada anggota DPD yang berasal dari Belitung dan tak ada pula anggota DPD perempuan seperti sekarang ini.
Kita tidak tahu apakah terbangunnya komposisi kandidat anggota DPD tahun 2002 itu kebetulan saja sehingga kemenangan Fajar dan Djamila merupakan sebuah keberuntungan, ataukah hasil dari suatu political engineering sehingga kemenangan keduanya merupakan suatu upaya politik.

Lebih setahun lalu berlangsung pilkada di Kabupaten Belitung Timur, lima kandidat maju memperebutkan satu kursi Bupati. Kalau kemudian Ahok memenangkan pilkada tersebut, itu bukanlah karena dia satu-satunya orang Cina, karena kalaulah semua pemilih orang Cina di Belitung Timur memilih dia, suara itu belum cukup untuk mengantarkan Ahok menjadi Bupati. Dia memenangkan pilkada justru karena dukungan pemilih non Cina yang terpesona dengan kepiawaian janji-janji kampanyenya, terutama trik-trik pemikat suara lainnya, serta melalui berbagai teknik pendekatan personal, dan tentu saja tak dapat dinafikan adanya peran fulus walau tak bisa disebut atau dibuktikan sebagai money politics.

Belitung Timur pada dasarnya adalah “sarang” partai Bulan Bintang, Yusril dan Sahar, dua petinggi PBB bahkan hadir pada hari pilkada, tetapi yang terjadi kandidat dari PBB justru hanya masuk dalam urutan ketiga, dibawah kandidat dari Golkar. Sungguh tragis bagi PBB. Ahok sendiri hanyalah berasal dari partai “sangat” kecil, yaitu PIB dan didukung oleh beberapa partai gurem lainnya. Pilkada langsung memang mengandalkan personal dan bukan partai. Kalau Fadel Muhammad terpilih lagi di Gorontalo, bukanlah karena partai Golkarnya, tetapi karena popularitas Fadelnya. Begitu pula ketika SBY terpilih dua tahun lalu, nyaris tak ada andilnya partai Demokrat, pesona SBYlah yang dipilih rakyat.

Tanggal 22 bulan ini walaupun belum genap dua tahun memenangkan kursi Bupati Belitung Timur Ahok kembali maju sebagai kandidat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung. Kali ini konstalasinya adalah sebagai berikut: 1). Kursi Gubernur diperebutkan oleh lima kandidat 2). Empat kandidat selain Ahok diusung oleh empat partai besar, masing Golkar, PDIP, PPP dan PBB (di Babel PBB termasuk partai besar karena mengalahkan PPP dan PKB dalam Pemilu lalu) 3).Ahok sebagaimana halnya sewaktu pilkada Kabupaten Belitung Timur tempohari, partainya adalah PIB yang tak punya kursi di DPRD Provinsi, tetapi semua “partai sisa” tanpa kursi di DPRD mendukungnya, salah satu yang hanya punya kursi satu adalah PKB. 4). Salah satu kandidat adalah incumbent , satu lagi baru berhenti dari jabatan Bupati Kabupaten Bangka(induk) dua periode, yang lain adalah mantan Sekda Provinsi Sumsel dan mantan Walikota Pangkalpinang dua periode, dan yang kelima anggota DPD RI asal Belitung yang “jam terbang” politiknya relatif terbilang sedikit.

Ketika awal Ahok mendaftar sebagai kandidat di KPUD semua kandidat yang lain mencibirnya. Dia dianggap cari peluang untuk menarik diri dari jabatan Bupati Belitung Timur karena tak tahan dan tak akan mampu memenuhi semua janji pilkadanya dulu pada tahun-tahun mendatang, dia kini kehabisan amunisi. Disamping itu dia dianggap tak akan mampu menyalib dua orang golden candidate yang telah tahunan menanamkan pengaruh serta telah memiliki pemilih tradisional. Tetapi begitu Ahok tampil dalam “Debat Politik Pendidikan” yang diselenggarakan oleh Dewan Pendidikan Provinsi, dia langsung menjadi buah bibir komunitas pendidikan. Beberapa hari kemudian dia tampil lagi dalam debat publik yang diselenggarakan oleh KPUD, juga memperlihatkan pepiawaian bicara dan pemikirannya, seolah semua urusan jadi Gubernur nanti easy going belaka. Tampil dalam pemaparan Visi-Misi di DPRD pun kabarnya Ahok paling ekpressive dan impressive dibanding kandidat yang lain. Rektor UBB mengatakan bahwa sekarang golden candidate bukan hanya dua, tetapi tiga. Johan Murod melalui SMS kepada saya mengatakan bahwa Ahok bukan akan menjadi Kuda Hitam, tetapi sudah menjadi Kuda Troya ! Yang membuat mata terbelalak bukan hanya tampilannya di tiga forum tersebut, tetapi begitu matahari hari pertama kampanye terbit, ratusan baliho berdiri disetiap pojok kota seluruh Babel, dan ratusan ribu berdera bergambar Ahok dan pasangannya berkibar nyaris disetiap depan rumah warga masyarakat di semua desa-desa hingga desa terpencil sekalipun yang tak tersentuh oleh gambar keempat kandidat lainnya. Konon kabarnya setiap pemilik rumah yang ditancapkan benderanya oleh Ahok diberi uang jaga agar benderanya tak ada yang mencabutnya. Pola yang sama persis yang dipakainya ketika memenangkan pilkada Bupati di Belitung Timur kurang dua tahun lalu.

Tak cukup dengan gebrakan baliho, spanduk dan bendera, Ahokpun memblok acara-acara interactive-talking di radio-radio amatir, teristimewa Sonora dari grup Gramedia. Maka suara kampanyenyapun bergema sampai kepelosok-pelosok desa, semua pertanyaan pendengar dijawabnya dengan cerdas. Sungguh ruar biasa.

Keempat kandidat lain mulai was-was melihat gelagat ini, prediksi bisa meleset. Seorang pendukung Eko mengatakan bahwa prediksi semula Eko akan mampu meraih 46% suara, tetapi sekarang dapat 30% sudah bagus. Kalau 30% bukan saja bagus tetapi menang, tetapi bisakah ? Hudar sendiri masih penuh percaya diri akan keampuhan mesin politiknya yang sudah berpengalaman bertahun-tahun. Sedangkan Sofyan dan Fajar sepertinya tak masuk itungan para pengamat!

Tokoh-tokoh Islam gelisah, bukan karena Ahok Cina, tetapi dia Kristen. Kalau Cina Islam bagi masyarakat Islam Bangka tidak lagi disebut Cina, tetapi Melayu. Orang Cina masuk Islam disebut masuk Melayu dan hal ini jamak, artinya di Babel orang Cina masuk Islam itu biasa, sama halnya kalau orang Cina masuk Kristen atau Katolik. Mengapa tokoh-tokoh Islam gelisah? Tak lain karena setidaknya ada empat ayat dari tiga surah di dalam al-Qur’an melarang orang-orang beriman mengangkat/memilih orang kafir menjadi pemimpin. Bagi umat Islam, umat diluar Islam adalah kafir sebagaimana halnya umat-umat lainpun mengkafirkan umat diluarnya. Tetapi bagaimanapun ada satu ayat yang secara eksplisit melarang orang beriman mengangkat/memilih orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin. Kegelisahan tokoh-tokoh Islam ini termanifestasikan dalam ceramah dan khutbah selama dua minggu belakangan ini. Soalnya umat Islam, apalagi generasi muda umumnya tak faham dengan larangan kitab sucinya itu, jadi perlu didakwahkan. Hal ini disadari pula oleh keempat kandidat yang lain yang semuanya dari kalangan Islam, tetapi masalah larangan agama ini tak bisa dijadikan tema kampanye karena bertentangan dengan larangan kampanye, yaitu tidak boleh bicara soal SARA.
Seorang teman cerita, dalam acara interactive talkingnya ada yang menyebut soal larangan agama Islam ini, tetapi dengan tangkas Ahok menjawab bahwa dia juga tahu ada larangan tersebut, tetapi larangan itu cerita masa lalu, bukan masa sekarang, nah lho ! Saya tak dengar bagaimana fatwa Gus Dur dalam kampanyenya beberapa hari lalu, boleh jadi kurang lebih sama seperti itu. Tinggal daya tarik mana yang lebih kuat, Gus Dur atau para Da’i di Babel. Bagaimanapun wacana larangan agama ini sudah suntuk, artinya tak akan mampu mengubah banyak lagi, apalagi di kampung-kampung yang jarang di datangi da’i dari kota. Da’i kota kan senangnya main di kota, biasanya dapat duit, kalau ke kampung-kampung malah harus buang duit ! Mana tahan !!

Kini kita memasuki minggu tenang, pilkada tinggal menghitung hari dan siaplah rakyat Babel dipimpin oleh pemimpin baru dengan slogannya :“Kini saatnya Babel dipimpin oleh pemimpin anti korupsi!” Slogan yang sangat merangsang karena sekaligus menyindir para pemimpin Indonesia dan pemimpin di daerah yang konon lekat dengan perilaku korupsi. Sebagai masyarakat yang sudah menerima demokrasi sebagai sistem politik pilihan kita, mari kita terima baik siapapun yang menang. Kalau Ahok menang mari kita minta dipenuhi janji-janji muluknya. Kalau Hudar yang menang kita minta dia agar introspeksi terhadap kinerja pemerintahannya dimasa lalu dan berusaha memperbaikinya. Kalau Eko yang menang, kita lihat apakah jargonnya timah sebagai primadona kemakmuran dapat diwujudkannya. SELAMAT BERTARUNG !
Jakarta 16 Pebruari 2007

selamat datang

ini blog saya...
silahkan mengomentari pemikiran-pemikiran saya...