Minggu, 18 Januari 2009

Produksi Hilir

PRODUKSI HILIR
Rusli Rachman, anggota DPDRI asal Bangka
Itulah yang dikatakan oleh Habibi lebih satu dekade yang lalu ketika beliau masih menjadi Menristek/ketua BPPT . Beliau memperlihatkankan secara ekstrim harga sebuah sedan marcedes yang beratnya satu setengah ton. Harganya marcedes tersebut tenyata lebih dari dua puluh kali lipat dari harga besi dengan barat yang sama. Kita dapat menganalogikan contoh Habibi tersebut dengan semua barang jadi dan siap pakai atau setidaknya setengah jadi atau setengah siap pakai, bahkan dengan contoh yang paling sederhana sekalipun, seperti harga satu irisan daging dengan harga sepiring steak siap saji yang berasal dari daging tersebut. Dalam skala yang lebih besar lihatlah berapa harga jual buah kelapa sawit dibandingkan dengan CPO sebagai barang setengah jadi, dan harga CPO dengan harga bimoli sebagai produk akhir. Lihatlah kaolin yang dijual dalam skala besar dari Bangka dan Belitung ke Surabaya atau Jakarta atau di ekspor ke luar negeri, setelah menjadi batu tahan api atau keramik berapa puluh kali lipat harga jualnya yang harus kita beli kembali dari bahan baku yang baru kita jual itu ? Berapa harga singkong yang dihasilkan ribuan ton oleh para petani di Lampung itu, berapa harga tapiokanya yang kita beli untuk membuat mpek-mpek, dan akhirnya berapa harga sepotong mpek-mpek kapal selam ? Kedengarannya sederhana, tetapi prosesnya dari bahan baku menjadi barang jadi atau setengah jadi tidaklah sesederhana itu. Dengan menggunakan pendekatan system kita tahu bahwa untuk sampai menjadi barang jadi sebagai output, maka bahan baku hanyalah salah satu saja dari sekian banyak input yang diperlukan dalam system yang berproses hingga menghasilkan output yang kita sebut barang jadi itu.

Ada tiga input utama disamping input lainnya, ialah teknologi, modal, dan SDM yang mampu menggunakan teknologi dan mengelola modal tersebut. Makin sederhana barang yang akan dihasilkan, makin sederhana pula teknologinya, makin sedikit modal dan makin sederhana kompetensi SDM nya. Bukankah untuk membuat lempah kuning yang disajikan di restoran belakang BBCP itu, atau warung jalan Garuda, atau restoran Biru laut, atau warung Ita samping masjid Jamik itu tak perlu teknologi canggih, tak perlu modal besar atau tenaga lulusan spesial ? Tapi harganya aduhai ! Bandingkan dengan harga ikannya yang dibeli di pasar sebagai bahan baku, dan bandingkan lagi dengan harga ikan yang dibeli oleh tengkulak dari nelayan. Begitulah gambaran sederhana produksi hilir, yang oleh Habibi diperkenalkan pula kepada kita istilah added value atau nilai tambah dari produksi hilir itu.

Berbicara tentang teknologi, modal dan SDM, bagi PT.Timah Tbk tentu tak merisaukan. Tambang memang core bussinessnya, khususnya timah. Berinvest dalam pertambangan batubara di Kalimantan dan aspal di Sulawesi dianggap masih dalam batas-batas ketersediaan teknologi dan kompetensi SDMnya. Karena itu rencana invest dalam perkebunan kelapa sawit di Bangka Tengah yang dibatalkan karena ketidaksetujuan komisaris sepertinya wajar-wajar saja. Saya dengar rencana invest perkebunan kelapa sawit tersebut memang sengaja tidak dikaitkan dengan core bussiness karena ada value lain yang diharapkan, yaitu keuntungan politis. Konon opini tentang kurangnya kontribusi PT.Timah Tbk di Babel dirasa masih cukup kuat.

Ada jurus lain sebenarnya yang bisa dilakukan oleh PT.Timah Tbk untuk menunjukkan dedikasinya bagi Babel dan bangsa, mendapat nilai tambah dan yang paling penting dibalik itu adalah penghematan timah sebagai sumber daya alam yang strategis, yang sekarang ini cadangannya cenderung menyusut semakin cepat, justru ketika Indonesia masih belum menjadi negara Industri. Cina sebagai negara dengan produksi timah terbesar di dunia adalah pengekspor timah terrendah karena nyaris semua timahnya dikonsumsi industri dalam negeri. Indonesia sebaliknya, menjual nyaris semua timahnya karena industri kita belum banyak mengonsumsi timah. Tetapi menjadi negara industri bagi Indonesia merupakan keniscayaan masa depan. Sayang, kalau trend pemborosan timah tetap seperti sekarang, kita nanti akan menjadi negara industri sekaligus pengimport timah yang harganya akan sangat mahal karena faktor kelangkaan. Tragis !

Melalui tulisan ini diserukan agar PT.Timah Tbk berhentilah berinvestasi diluar Babel, toh sejauh ini semua investasi tersebut belum menguntungkan kalau tak dapat dikatakan merugi. Kembalilah ke provinsi baru ini dan tanamkan modal, teknologi dan SDMnya pada industri hilir timah atau non timah di sini. Berapa banyak lapangan kerja bisa dibuka di Babel dan berapa besar pasar dalam dan luar negeri bisa menyerap hasil industri hilir timah ini. Menjual semua logam timah produk pusmet sungguh absurd, sama absurdnya dengan apa yang selama ini dilakukan oleh smelter-smelter swasta yang menjamur itu.

Dulu apa yang kini kita kenal dengan nama Pusat Metalurgi (Pusmet) itu bernama Peleburan Timah (Peltim). Sayang fungsinya tak banyak berubah, tetap masih sekadar melebur timah, paling-paling kini ada sedikit produk samping berupa butiran timah (Tin Shut) sebagai produk hilir setengah jadi. Padahal SDM disana sungguh potensial dimanfaatkan untuk pengembangan berbagai produk hilir timah lainnya sesuai dengan namanya sebagai pusat metalurgi.

Kita baru berbicara tentang produksi hilir timah, masih banyak lagi bentuk ketidaksabaran kita untuk segera mendapat uang dengan menjual bahan baku secara murah meriah. Lihalah sudah barapa puluh tahun kita menjual kaolin, dan pasir kwarsa, dua jenis bahan tambang yang sangat kaya tersedia dibumi Babel ini. Antara tahun 60an sampai 70an masih ada industri keramik di Belitung dengan brand KIA yang memanfaatkan kaolin Belitung. Kini hengkang ke Jakarta karena alasan-alasan yang sangat boleh jadi tarkait dengan masalah-masalah dukungan politik dan kemudahan ekspor, atau masalah-masalah non teknis yang memuakkan investor. Kini perkebunan kelapa sawit telah berkembang meluas diseantero pulau Bangka dan Belitung. Produksi CPOnyapun telah diekpor kemana-mana. Adakah terbayangkan perlunya kita memiliki industri hilir CPO ?

Disamping kelapa sawit, Babel sangat dikenal kekayaan hasil lautnya. Ada pabrik pengalengan ikan di Merawang yang semula memberi harapan, tetapi kini tersungkur, entah mengapa, siapa peduli ? Nanas di Bangka Selatan sejak sebelum kemerdekaan telah terkenal, kuantitas maupun kualitasnya. Supply/perkebunannya tak bertambah karena demandnya itu-itu saja. Pernah ada wacana tentang pabrik pengalengan nanas, katanya nanas Toboali terlalu banyak airnya tak seperti nanas Prabumulih. So what ? Wacana tak memasuki teknologi dan akhirnya sepi sendiri.
Dua tahun lalu saya ke Pongok dan menyaksikan hamparan ikan asin seantero daratan pulau Clagen, tetangga dekat Pongok. Ikan-ikan asin Clagen ini konon yang menjadi pasokan ikan asin di Jakarta. Ikan asin dikembangkan di Clagen karena over produksi ikan basah. Ini rekayasa mereka sendiri yang patut kita acungkan jempol. Kalaulah modal dan teknologi ditransfer ke Pongok/Clagen, maka industri disana bukan hanya ikan asin, tetapi ada yang nilai tambahnya lebih tinggi, ialah pakan ternak, ikan kaleng, tepung ikan dan lain-lain. Ikan disana sungguh melimpah hingga kewalahan menangkapnya. Selat sempit antara Pongok dan Clagen dipenuhi berbagai jenis ikan yang tembus terawang mata telanjang dari atas perahu atau dermaga nelayan dikedua pulau itu. Melihat begitu banyaknya ikan yang tak ditangkap lagi bagi kita yang datang dari jauh gemes rasanya, kate orang Bangka grigit !

Begitulah potensi sumber daya alam Babel ini di luar timah yang sedang dirayah dan meluluhlantakkan lingkungannya itu, Saya ingin berhenti sebenarnya bicara soal timah dan lingkungan, muak rasanya setelah puluhan tulisan saya yang hilang tertelan ketidakpedulian penguasa dan pengusaha. Sayangnya saya tak pernah bisa berhenti berfikir tentang Provinsi saya ini, tentang nasib masyarakatnya yang tak pintar-pintar menyikapi hari depan anak cucunya. setidaknya hingga saat ini.

Pilkada 22 Pebruari ini mudah-mudahan membuka babak baru bagi kepedulian kita yang lebih serius pada hari depan Provinsi ini. Kita berharap siapapun yang nanti akan memimpin Babel, berwawasanlah jauh kedepan. Berhentilah berfikir tentang kekayaan diri, berhentilah terobsesi dengan kepuasan dan kebanggaan kekuasaan yang hanya sesaat itu, kekuasaan yang kapan saja dapat diambil kembali oleh Allah sebagai pemilik segala kekuasaan. Sungguh kepadaNyalah kita akan kembali !
Wallahu a’lam Jakarta 17 Pebruari 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar