Minggu, 18 Januari 2009

FENOMENA A H O K
Oleh : rusli Rachman, anggota DPD RI asal Bangka

Ketika akan berlangsung Pemilu tahun 2002 yang lalu, yang salah satunya akan memilih anggota-anggota DPD RI, pada saat terakhir KPUD mengoleksi 22 kandidat. 20 berasal dari pulau Bangka dan hanya satu yang berasal dari pulau Belitung. Dari 20 kandidat asal Bangka hanya satu darinya yang perempuan. Siapapun pada waktu itu telah dapat memastikan bahwa kedua orang tersebut pastilah akan dapat mencuri masing-masing satu kursi dari hanya empat kursi yang diperebutkan, dan akhirnya memang menjadi kenyataan. Fajar Fairi menguasai suara pulau Belitung dan Djamila Somad menguasai suara kaum perempuan. Tentu saja tak mutlak benar karena 21 kandidat diluar Fajar Fairi juga kebagian suara pemilih Belitung, demikian pula 21 kandidat diluar Djamila Somad mendapat bagian suara perempuan dari Bangka maupun Belitung. Kalaulah semua suara perempuan diberikan kepada Djamila Somad pastilah dia akan menampati urutan nomor satu karena pemilih perempuan justru lebih banyak dari pemilih laki-laki.Demikian pula kalau semua suara pemilih Belitung diberikan kepada Fajar Fairi pastilah dia akan menempati urutan kedua, karena pemilih Bangka akan berbagi kepada 21 kandidat lainnya.

“Kalau” lainnya adalah sekiranya kandidat dari pulau Belitung lebih dari seorang dan kandidat perempuan juga lebih dari seorang, maka dapatlah dipastikan tak akan ada anggota DPD yang berasal dari Belitung dan tak ada pula anggota DPD perempuan seperti sekarang ini.
Kita tidak tahu apakah terbangunnya komposisi kandidat anggota DPD tahun 2002 itu kebetulan saja sehingga kemenangan Fajar dan Djamila merupakan sebuah keberuntungan, ataukah hasil dari suatu political engineering sehingga kemenangan keduanya merupakan suatu upaya politik.

Lebih setahun lalu berlangsung pilkada di Kabupaten Belitung Timur, lima kandidat maju memperebutkan satu kursi Bupati. Kalau kemudian Ahok memenangkan pilkada tersebut, itu bukanlah karena dia satu-satunya orang Cina, karena kalaulah semua pemilih orang Cina di Belitung Timur memilih dia, suara itu belum cukup untuk mengantarkan Ahok menjadi Bupati. Dia memenangkan pilkada justru karena dukungan pemilih non Cina yang terpesona dengan kepiawaian janji-janji kampanyenya, terutama trik-trik pemikat suara lainnya, serta melalui berbagai teknik pendekatan personal, dan tentu saja tak dapat dinafikan adanya peran fulus walau tak bisa disebut atau dibuktikan sebagai money politics.

Belitung Timur pada dasarnya adalah “sarang” partai Bulan Bintang, Yusril dan Sahar, dua petinggi PBB bahkan hadir pada hari pilkada, tetapi yang terjadi kandidat dari PBB justru hanya masuk dalam urutan ketiga, dibawah kandidat dari Golkar. Sungguh tragis bagi PBB. Ahok sendiri hanyalah berasal dari partai “sangat” kecil, yaitu PIB dan didukung oleh beberapa partai gurem lainnya. Pilkada langsung memang mengandalkan personal dan bukan partai. Kalau Fadel Muhammad terpilih lagi di Gorontalo, bukanlah karena partai Golkarnya, tetapi karena popularitas Fadelnya. Begitu pula ketika SBY terpilih dua tahun lalu, nyaris tak ada andilnya partai Demokrat, pesona SBYlah yang dipilih rakyat.

Tanggal 22 bulan ini walaupun belum genap dua tahun memenangkan kursi Bupati Belitung Timur Ahok kembali maju sebagai kandidat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung. Kali ini konstalasinya adalah sebagai berikut: 1). Kursi Gubernur diperebutkan oleh lima kandidat 2). Empat kandidat selain Ahok diusung oleh empat partai besar, masing Golkar, PDIP, PPP dan PBB (di Babel PBB termasuk partai besar karena mengalahkan PPP dan PKB dalam Pemilu lalu) 3).Ahok sebagaimana halnya sewaktu pilkada Kabupaten Belitung Timur tempohari, partainya adalah PIB yang tak punya kursi di DPRD Provinsi, tetapi semua “partai sisa” tanpa kursi di DPRD mendukungnya, salah satu yang hanya punya kursi satu adalah PKB. 4). Salah satu kandidat adalah incumbent , satu lagi baru berhenti dari jabatan Bupati Kabupaten Bangka(induk) dua periode, yang lain adalah mantan Sekda Provinsi Sumsel dan mantan Walikota Pangkalpinang dua periode, dan yang kelima anggota DPD RI asal Belitung yang “jam terbang” politiknya relatif terbilang sedikit.

Ketika awal Ahok mendaftar sebagai kandidat di KPUD semua kandidat yang lain mencibirnya. Dia dianggap cari peluang untuk menarik diri dari jabatan Bupati Belitung Timur karena tak tahan dan tak akan mampu memenuhi semua janji pilkadanya dulu pada tahun-tahun mendatang, dia kini kehabisan amunisi. Disamping itu dia dianggap tak akan mampu menyalib dua orang golden candidate yang telah tahunan menanamkan pengaruh serta telah memiliki pemilih tradisional. Tetapi begitu Ahok tampil dalam “Debat Politik Pendidikan” yang diselenggarakan oleh Dewan Pendidikan Provinsi, dia langsung menjadi buah bibir komunitas pendidikan. Beberapa hari kemudian dia tampil lagi dalam debat publik yang diselenggarakan oleh KPUD, juga memperlihatkan pepiawaian bicara dan pemikirannya, seolah semua urusan jadi Gubernur nanti easy going belaka. Tampil dalam pemaparan Visi-Misi di DPRD pun kabarnya Ahok paling ekpressive dan impressive dibanding kandidat yang lain. Rektor UBB mengatakan bahwa sekarang golden candidate bukan hanya dua, tetapi tiga. Johan Murod melalui SMS kepada saya mengatakan bahwa Ahok bukan akan menjadi Kuda Hitam, tetapi sudah menjadi Kuda Troya ! Yang membuat mata terbelalak bukan hanya tampilannya di tiga forum tersebut, tetapi begitu matahari hari pertama kampanye terbit, ratusan baliho berdiri disetiap pojok kota seluruh Babel, dan ratusan ribu berdera bergambar Ahok dan pasangannya berkibar nyaris disetiap depan rumah warga masyarakat di semua desa-desa hingga desa terpencil sekalipun yang tak tersentuh oleh gambar keempat kandidat lainnya. Konon kabarnya setiap pemilik rumah yang ditancapkan benderanya oleh Ahok diberi uang jaga agar benderanya tak ada yang mencabutnya. Pola yang sama persis yang dipakainya ketika memenangkan pilkada Bupati di Belitung Timur kurang dua tahun lalu.

Tak cukup dengan gebrakan baliho, spanduk dan bendera, Ahokpun memblok acara-acara interactive-talking di radio-radio amatir, teristimewa Sonora dari grup Gramedia. Maka suara kampanyenyapun bergema sampai kepelosok-pelosok desa, semua pertanyaan pendengar dijawabnya dengan cerdas. Sungguh ruar biasa.

Keempat kandidat lain mulai was-was melihat gelagat ini, prediksi bisa meleset. Seorang pendukung Eko mengatakan bahwa prediksi semula Eko akan mampu meraih 46% suara, tetapi sekarang dapat 30% sudah bagus. Kalau 30% bukan saja bagus tetapi menang, tetapi bisakah ? Hudar sendiri masih penuh percaya diri akan keampuhan mesin politiknya yang sudah berpengalaman bertahun-tahun. Sedangkan Sofyan dan Fajar sepertinya tak masuk itungan para pengamat!

Tokoh-tokoh Islam gelisah, bukan karena Ahok Cina, tetapi dia Kristen. Kalau Cina Islam bagi masyarakat Islam Bangka tidak lagi disebut Cina, tetapi Melayu. Orang Cina masuk Islam disebut masuk Melayu dan hal ini jamak, artinya di Babel orang Cina masuk Islam itu biasa, sama halnya kalau orang Cina masuk Kristen atau Katolik. Mengapa tokoh-tokoh Islam gelisah? Tak lain karena setidaknya ada empat ayat dari tiga surah di dalam al-Qur’an melarang orang-orang beriman mengangkat/memilih orang kafir menjadi pemimpin. Bagi umat Islam, umat diluar Islam adalah kafir sebagaimana halnya umat-umat lainpun mengkafirkan umat diluarnya. Tetapi bagaimanapun ada satu ayat yang secara eksplisit melarang orang beriman mengangkat/memilih orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin. Kegelisahan tokoh-tokoh Islam ini termanifestasikan dalam ceramah dan khutbah selama dua minggu belakangan ini. Soalnya umat Islam, apalagi generasi muda umumnya tak faham dengan larangan kitab sucinya itu, jadi perlu didakwahkan. Hal ini disadari pula oleh keempat kandidat yang lain yang semuanya dari kalangan Islam, tetapi masalah larangan agama ini tak bisa dijadikan tema kampanye karena bertentangan dengan larangan kampanye, yaitu tidak boleh bicara soal SARA.
Seorang teman cerita, dalam acara interactive talkingnya ada yang menyebut soal larangan agama Islam ini, tetapi dengan tangkas Ahok menjawab bahwa dia juga tahu ada larangan tersebut, tetapi larangan itu cerita masa lalu, bukan masa sekarang, nah lho ! Saya tak dengar bagaimana fatwa Gus Dur dalam kampanyenya beberapa hari lalu, boleh jadi kurang lebih sama seperti itu. Tinggal daya tarik mana yang lebih kuat, Gus Dur atau para Da’i di Babel. Bagaimanapun wacana larangan agama ini sudah suntuk, artinya tak akan mampu mengubah banyak lagi, apalagi di kampung-kampung yang jarang di datangi da’i dari kota. Da’i kota kan senangnya main di kota, biasanya dapat duit, kalau ke kampung-kampung malah harus buang duit ! Mana tahan !!

Kini kita memasuki minggu tenang, pilkada tinggal menghitung hari dan siaplah rakyat Babel dipimpin oleh pemimpin baru dengan slogannya :“Kini saatnya Babel dipimpin oleh pemimpin anti korupsi!” Slogan yang sangat merangsang karena sekaligus menyindir para pemimpin Indonesia dan pemimpin di daerah yang konon lekat dengan perilaku korupsi. Sebagai masyarakat yang sudah menerima demokrasi sebagai sistem politik pilihan kita, mari kita terima baik siapapun yang menang. Kalau Ahok menang mari kita minta dipenuhi janji-janji muluknya. Kalau Hudar yang menang kita minta dia agar introspeksi terhadap kinerja pemerintahannya dimasa lalu dan berusaha memperbaikinya. Kalau Eko yang menang, kita lihat apakah jargonnya timah sebagai primadona kemakmuran dapat diwujudkannya. SELAMAT BERTARUNG !
Jakarta 16 Pebruari 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar